Kamis, 25 September 2014

Efek buruk sindrom telat tidur

Efek buruk sindrom telat tidur - Ada salah satu efek negatof dari perkembangan kota maju yang 24 jam selalu sibuk dengan segala aktifitas. Mobilitas tinggi di perkotaan menimbulkan banyak fenomena baru di kalangan masyarakat urban. Salah satu fenomena terbaru adalah delayed sleep phase syndrome (DSPS) atau sindrom telat tidur. 

Berbeda dengan insomnia, penderita DSPS masih bisa tertidur, namun di jam-jam abnormal. Penderita DSPS umumnya tidur di kala pagi menjelang. Alhasil di pagi hari, mereka merasa lelah dan tidak berenergi. 

“DSPS merupakan versi ekstrem dari kebiasaan begadang. Mereka tidur menjelang pagi dan merasa begitu buruk saat bangun. Kondisi ini sebenarnya sudah ada di era 1980-an, namun baru kembali populer di era sekarang ini,” kata pakar tidur Dr. Neil Stanley, dilansir Daily Mail.

Lebih lanjut Dr. Stanley menyebutkan, para penderita sindrom telat tidur bukan berarti kesulitan tidur. Hanya saja, jam tidurnya bergeser. Akibatnya, ritme kerja tubuh pun berubah. Para penderita DSPS jauh aktif dan berenergi di tengah malam.

“Mereka akhirnya bekerja atau melakukan hal-hal lain untuk menunggu kantuk. Padahal hal tersebut akan semakin mengacaukan ritme sirkadian tubuh,” imbuh Dr Stanley. 

Jika DSPS ini berlangsung lama, penderitanya bisa memiliki kelainan tidur akut, yang bisa memengaruhi kesehatan fisik dan mental. 

Sebuah studi yang dilakukan firma The Sleep Consultancy, menyebutkan DSPS bisa jadi diwariskan secara genetik. Dalam artian, orang tua yang punya kebiasaan tidur larut malam, bisa menurunkan kebiasaan tersebut pada anaknya. 

Namun di sisi lain, fenomena ini lebih sering muncul karena gaya hidup perkotaan yang menuntut masyarakatnya aktif selama 24 jam. 

Dr Stanley menyebutkan DSPS sebenarnya bukan merupakan bagian dari gejala suatu penyakit, melainkan hasil dari gaya hidup yang buruk. “Pekerjaan yang tidak pernah selesai, peningkatan penggunaan gadget dan teknologi, paparan cahaya biru dari gadget berlayar, serta ponsel pintar, membuat ritme tidur masyarakat urban sangat tidak teratur,” ujarnya.

Ironisnya, masyarakat urban berpikir tidur larut sudah menjadi hal yang umum. “Padahal mereka tahu tidur larut bisa menurunkan energi di pagi hari dan membuat tubuh terasa lesu,” tutur Dr Stanley.

Disangka depresi

DSPS merupakan sindrom anyar yang belum banyak diketahui dokter. Alhasil, gejala sindrom ini banyak keliru disangka sebagai gejala depresi. Pada depresi, gangguan tidur atau insomnia bukan hanya sebagai gejala yang muncul bersamaan dengan kecemasan, depresi dan stres, melainkan dimungkinkan bahwa insomnia merupakan penyebab dari depresi itu sendiri.

“DSPS masih bisa diatasi, selama gangguan tidur tersebut belum memengaruhi aktivitas di siang hari. Namun ketika Anda merasa terus-menerus kelelahan akibat jam tidur yang salah, maka sudah saatnya Anda berkonsultasi pada dokter,” kata Dr Stanley.

Pasalnya, kekurangan waktu tidur berkaitan erat dengan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Mereka yang tidur larut punya kekebalan tubuh yang lebih rendah sehingga kerap terserang flu atau diare. 

Sebuah studi juga mengaitkan tidur larut dengan peningkatan tekanan darah juga tingginya kandungan kimia tubuh yang bisa mempertinggi risiko serangan jantung, serta diabetes tipe 2.